Selasa, 18 Oktober 2016

Kisah Penderita Mieloma Menemukan Diagnosa yang Tepat untuk Penyakit yang Diderita

Penyakit mieloma tidak langsung bisa didiagnosa bahkan oleh dokter sekalipun kalau dokter tersebut bukan bidangnya. Beberapa pasien mieloma "shopping" dahulu ke beberapa dokter karena keluhan yang dirasakannya.

Image result for berobat ke dukun

Saya berpikir mungkin mieloma ini yang dahulu salah satunya dibilang orang karena diguna-guna, kena santet, kena ilmu hitam, atau lainnya. Karena pasien begitu ke dokter untuk periksa keluhannya, dokter tidak menemukan penyebab pasti penyakitnya. Biasanya dokter akan mengobati gejalanya. Seperti gejala "boyok" yang akan diobati dengan obat anti-nyeri, gejala yang mengarah ke anemia kronis yang diterapi dengan transfusi untuk menaikkan Hb darahnya bahkan dioperasi tulangnya karena keluhan fraktur tulang. Padahal langkah-langkah tersebut tidak menerapi penyakitnya tetapi hanya gejalanya saja.

Berikut contoh pasien "shopping" dari kisah nyata penderita mieloma. Kisah seperti di muat di blog pasien berikut.




Sabtu, 28 Mei 2016

Tujuan Terapi Kanker : Sedikit Tambahan Pengetahuan untuk Awam

Kanker adalah penyakit kronis

Banyak penyakit kronis yang berkembang dewasa ini pada spesies manusia. Diabetes, hipertensi, rematik, asam urat, osteoporosis, dan banyak lainnya adalah contoh penyakit kronis.
Berbeda dengan penyakit akut seperti adanya infeksi bakteri, virus dan jamur yang bisa disembuhkan dengan pengobatan anti bakteri dan anti jamur dalam jangka waktu tertentu, penyakit kronis boleh dibilang tidak bisa disembuhkan.
Pada penyakit kronis, pemahaman mengenai penyakit yang diderita adalah hal pertama yang harus dipahami oleh pasien yang menderita penyakit tersebut dan tentunya juga oleh keluarga pasien yang sering hidup bersama dan mendapatkan dampak dari penyakit yang diderita oleh pasien. Setelah memahami penyakitnya baru pasien dan keluarga bisa bersama dengan petugas kesehatan menentukan tujuan terapi untuk penyakit tersebut dan terapi apa yang bisa dilakukan untuk penanganan penyakit pasien.

Contoh pada penderita Diabetes

Pada penyakit diabetes misalnya. Gejala dan keluhan yang timbul pada penyakit ini adalah dikarenakan kadar gula darah yang tinggi. Gula darah yang tinggi kalau tidak dikontrol akan membawa ke keadaan yang lebih parah lagi seperti gangren, gangguan jantung, dan stroke yang bisa mematikan. Pasien serta keluarga pasien harus memahami dengan baik penyakit diabetes tersebut beserta akibat yang bisa ditimbulkan oleh diabetes.

Setelah memahami penyakitnya, pasien dibantu dengan petugas kesehatan dalam hal ini dokter dan perawat serta petugas kesehatan lainnya membuat kesepakatan mengenai tujuan terapi yang diinginkan. Tujuan terapi untuk penyakit gula darah ini disepakati adalah menurunkan kadar gula darah serta mengontrolnya tetap di batas normal. Dengan pengontrolan gula darah di batas normal diharapkan tidak terjadi komplikasi ke organ-organ penting seperti kerusakan ginjal, stroke dan lainnya.

Setelah disepakati tujuan yang akan dicapai maka disepakati juga cara untuk mencapai tujuan terapi tersebut. Cara mencapai tujuan dalam penurunan kadar gula darah tergantung derajat penyakit dan kondisi pasien. Pilihannya bisa dari perubahan gaya hidup dan pola makan, bisa dengan obat oral tunggal, obat oral kombinasi dan sampai pada penggunaan obat suntik insulin. Pilihan yang dipilih juga ada resiko lainnya yang akan didapat seperti efek samping obat atau komitmen kepatuhan gaya hidup oleh pasien. Dan resiko yang bisa diterima oleh pasien tersebut juga sudah disepakati dari awal oleh pasien, keluarga dan petugas kesehatan.

Bagaimana dengan pasien kanker

Pada pasien kanker tahap-tahap diatas juga selayaknya diketahui oleh pasien.
Pertama, pasien dan keluarga harus memahami dengan baik penyakit kanker yang dialami. Apa jenis kanker yang didertia. Berapa tingkat stadiumnya dan bagaimana kelanjutan dari kanker tersebut apabila diterapi dan tidak diterapi.

Kedua, pasien, keluarga dan petugas kesehatan membuat kesepakatan bersama mengenai tujuan terapi kanker yang diderita. Pada stadium awal kanker padat atau solid kanker, seperti kanker payudara, paru, kolon misalnya, tujuan terapinya bisa hilangnya tumor secara bersih. Tapi pada kanker lanjut, harapan pengecilan tumor sehingga tumor tidak menyebar terlalu jauh yang bisa diharapkan. Pengecilan tumor ini juga bisa diharapkan bersih atau dalam istilah terapi tumor disebut respon komplit, walaupun tingkat bersihnya berbeda dengan pada kanker stadium awal.
Dari awal juga harus dipahami bahwa hampir semua kanker walaupun bisa hilang sempurna pada stadium awal punya peluang untuk kambuh lagi. Dan tujuan terapi pada kanker atau tumor yang sudah hilang bersih ini adalah bagaimana bisa memperlama tingkat kekambuhan dengan sebisa mungkin membersihkan penyebaran-penyebaran "mikro" yang tidak terlihat sehingga sisa-sisa sel kanker yang mungkin masih ada dan tidak terlihat oleh alat yang canggih yang ada  benar-benar diharapkan berkurang secara signifikan. Dengan jumlah sel kanker yang diharapkan sangat kecil dalam tubuh maka diharapkan peluang untuk kambuh kanker tersebut makin lama.
Tujuan-tujuan inilah yang harus dipahami oleh pasien dan kekuarga. Dan petugas kesehatan membantu untuk pasien dan keluarga bisa memahami dengan baik.

Baru setelah tujuan terapi yang diinginkan, pilihan-pilihan terapi bisa disepakati. Untuk stadium awal misalnya, pembersihan apakah bisa dengan penyinaran, apakah dengan operasi pengangkatan tumor, atau harus kedua-duanya. Pilihan-pilihan yang disepakati tentunya berdasar data-data penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan. Pilihan obat kemoterapi juga mempertimbangkan efikasi obat, efek samping yang akan didapat, harapan atau ekspektasi dari pasien dan keluarga serta tentunya ekonomi dari pasien dan keluarga.

Dengan pemahaman yang baik antara pasien, keluarga dan petugas kesehatan mengenai penyakitnya, tujuan terapi serta pilihan terapi yang dilakukan maka hasil yang didapat oleh pasien diharapkan makin baik. Karena sering pemahaman yang salah atau kurang dari pasien dan keluarga inilah yang menjadi penyebab "ketidak-puasan" pasien dan keluarga pasien terhadap layanan kesehatan. Padahal memang harapan dari pasien dan keluarga tersebut yang memang tidak sesuai dengan kondisi penyakit yang ada.


Jumat, 27 Mei 2016

Traplantasi Masih Merupakan Terapi Standar Terdepan untuk Terapi Myeloma

Transplantasi sel punca secara autologous (Autologous stem cell transplantation) pada lini terdepan masih merupakan terapi standar pada pasien yang baru terdiagnosa multile myeloma, bahkan pada era obat-obatan mutakhir, berdasarkan pada penelitian fase III dari European Myeloma Network (EMN)
"Penemuan kita menunjukkan bahwa autologous stem cell transplantation masih merupakan terapi yang dianjurkan untuk pasien multiple myeloma dengan usia 65 dan yang lebih muda dari itu" demikian kata ketua peneliti dr. Micael Cavo. Dr. Cavo adalah Ketua divisi hematologi Institute pada Universitas Bologna Italia.

Penelitian yang dilakukan oleh EMN ini yaitu study acak dengan nama  EMN02/HO95 merupakan penelitian terbesar yang pernah dilaporkan dewasa ini yang membandingkan autologous stem cell transplant dengan penggunaan kemoterapi saja berbasis  bortezomib (Velcade) pada pasien ≤ 65 tahun. Hal ini dilakukan karena walaupun autologous stem cell transplant sudah menjadi terapi standar pada pasien muda dan untuk pasien dengan kondisi fit, pada era obat-obat terbaru penggunaan terapi autologius stem cell transplantation ini sudha mulai diperdebatkan penerapannya, demikian kata dr. Cavo. "Lebih dari 10 tahn, terapi dengan obat-obat baru dengan mekanisme aksi yang baru secara dramatis mampu meningkatka respon terapi dan secara nyata mampu memperpanjang survival pada pasien multiple myeloma", dia berkata. "Obat-obat dengan aktivitas yang luar biasa ini membuat kita mempertanyakan mengenai peran  autologous stem cell transplant pada terapi lini depan.”

Detail Study EMN02/HO95

Penelitian yang melibatkan 1.503 pasien dengan usia  ≤ 65 tahun dari berabagai pusat penelitian di Eropa. Setelah dilakukan terapi induksi dengan bortezomib/cyclosphosphamide/dexamethasone (VCD) dan dilakukan pengumpulan stem cell darah tepi, pasien dirandom untuk mendapatkan 4 siklus bortezomib/melphalan/prednisone (VMP; n = 512) atau melphalan dosis tinggi (200 mg/m2; n = 754) yang dilanjutkan dengan autologous stem cell transplant.

Studi ini juga mengevaluasi apakah ada manfaatnya menggunakan terapi konsolidasi, sehingga dilakukan pengacakan yang kedua yaitu pasien diacak untuk mendapatkan terapi konsolidasi bortezomib/lenalidomide (Revlimid)/dexamethasone (VRD) atau tidak mendapatkan terapi kondolidasi. Pada kedua kelompok studi ini diberikan terapi maintenace lenalidomide sampai terjadi progessi penyakit.
Tujuan utama atau primary endpoint penelitian ini progessi penyakit dari pertama pasien dirandom. Dan sampai penelitian ini dipublikasikan baru mencapai follo up 23.9 bulan.

Analisa  Sementara Lebih Unggul pada Kelompok Transplant

Sampai penelitian ini dipublikasikan median progession free survival belum tercapai; namun demikian dari analisa menunjukkan adanya reduksi dalam resiko progessi pada kelompok autologous stem cell transplant arm. Progression-free survival secara nyata dan signifikan lebih lama pada pasien yang dirandom untuk dapat melphalan dosis tinggi yang dilanjut dengan autologous stem cell transplant dan manfaat itu didapat pada semua kelompok pasien (hazard ratio [HR] = 0.76; P = .010).

Sabtu, 14 Mei 2016

Update dari BMT Tandem Meeting untuk Terapi Myeloma yang Relapse

Pertemuan BMT Tandem adalah kolaborasi antara Centre for International Bone mArro Transplant Reaserach dan American Society of Blood and Marrow Tranplantation. Pertemuan kali ini diadakan di Honolulu, Hawai dan dihadiri oleh setidaknya 3.000 peserta dari 35 negara.Ada 785 abstrak yang ditampilkan dan diantaranya berhubungan dengan terapi multiple myeloma.

Abstract 64: Efficacy and safety of carfilzomib, lenalidomide, and dexamethasone vs lenalidomide and dexamethasone in patients with relapsed multiple myeloma after autologous hematopoietic cell transplantation: Secondary analysis from the phase III Aspire study (NCT01080391)

Hasil dari penelitian tersebut adalah kombinasi Carfilzomib, lenalidomide dan dexamethason memberikan hasil yang lebih baik daripada hanya lenalidomide dan dexamethason saja pada pasien multiple myeloma yang sudah relase dari terapi lini pertama.

Keunggulan kombinasi triplet tersebut adalah dalam hal progession free survival, 26.3 bulan vs 17.8 bulan, dan juga dalam hal respon terapi 90.3% vs 65.5%.

Kejadian efek samping grade 3 tentunya juga lebih banyak pada kombinasi 3 obat dibandingkan dengan kombinasi 2 obat yaitu 87.4% vs 79.5%.

Sumber :

Hari PN, Song K, Bensinger W, et al: Efficacy and safety of carfilzomib, lenalidomide, and dexamethasone versus lenalidomide and dexamethasone in patients with relapsed multiple myeloma after autologous stem cell transplantation: Secondary analysis from the phase 3 Aspire study (NCT01080391). Biol Blood Marrow Transplant 22(3 suppl):S66-S67, 2016

Transplat Untuk Myeloma : Apakah Masih ada Perannya dalam Terapi Myeloma?

Pada tatalaksana terapi multiple myeloma, tranplantasi autologous yang dilakukan dengan pemberian kemoterapi dosis tinggi sebelumnya masih menjadi terapi standar untuk pasien-pasien myeloma usia muda. Dan dengan kemajuan obat-obatan baru selama 15 tahun ini, mulai muncul pertanyaan apakah tranplantasi autologous masih harus dilakukan untuk pasien-pasien myeloma usia muda tersebut mengingat toksisitas yang ditimbulkan oleh trasplanasi.

Pada beberapa guideline terbaru sekarang untuk terapi multiple myeloma, baik NCCN Guideline, rekomendasi ESMO, European Myeloma Network (EMN), mSMART yang dikeluarkan oleh Mayo Clinic, IMWG (International Myeloma Working Group), bahkan rekomendasi dari Asia semuanya masih mencantumkan transplantasi aoutologous sebagai terapi standar untuk pasien-pasien myeloma usia muda. Dan tentunya ini adalah "pekerjaan rumah" bagi para ahli kanker Indonesia, karena sebagai terapi standar tentunya para ahli kanker Indonesia diwajibkan untuk mampu melakukan terapi tersebut terhadap pasiennya.
Tapi kita kesampingkan dahulu kondisi di Indonesia, kondisi di negara maju terapi transplantasi untuk myeloma ini malah coba untuk ditinggalkan. Hal tersebut mengacu pada beberapa terapi kanker darah lainnya seperti CML yang dengan kemajuan obat-obatan terapi target sudah mampu meninggalkan terapi transplan karena terbukti hasil yang diberikan lebih baik dibandingkan transplantasi.

Keinginan tersebut setidaknya tercermin pada dua buah penelitian yang dilakukan di dua negara terpisah yaitu di Prancis dan di Amerika Serikat. Dan hasil kedua penelitian tersebut sudah dipublikasikan di event ASCO 2016.

Penelitian tersebut adalah kerjasama antara kelompok penelitian myeloma dari Prancis IFM (Intergroup Francophone du Myeloma) dan Institut Dana-Farber Amerika Serikat.
Pada penelitian di Prancis, peneliti membandingkan antara pemberian regimen triplet, VRD, Brtezomib (Velcade), Lenalidomide (Revloimide) dan Dexamethason dengan pemberian regimen triplet yang diteruskan dengan tranplantasi dengan pengkondisian menggunakan melphalan pada 700 pasien dari Prancis dan Belgia yang sebelumnya belum pernah mendapatkan terapi. Pasien pada kedua kelompok penelitian tersebut juga dilanjutkan dengan pemberian terapi maintenance dengan lenalidomide selama 1 tahun.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasien yang dilakukan transplantasi memberikan respon terapi yang lebih baik dibandingkan dengan yang hanya dengan regimen triplet VRD saja yaitu 58% vs 46%. Dan dalam hal lamanya pasien mengalami kekambuhan atau pada progession free survival, pasien yang mendapatkan transplantasi lebih lama 8.8 bulan. Namun pada survival pasien secara keseluruhan selama 3 tahun kedua kelompok penelitian memberikan hasil yang sama yaitu sebesar 88% pasien masih hidup.
Lebih lanjut dilaporkan, pada kelompok penelitian yang diberikan transplantasi ada dilaporkan 5 kematian karena efek samping dan terjadinya kanker sekunder lebih banyak pada pasien yang dilakukan transplantasi daripada yang tidak yaitu 23 pasien vs 18 pasien, termasuk diantaranya yang terjadi kanker sekunder berupa acute myeloid leukemia (AML).

Penelitian pararel dengan desain penelitian yang sama tetapi dengan pemberian terapi maintenance sampai terjadi progessi penyakit dilakukan di Amerika Serikat dan dipimpin oleh ahli myeloma dokter Paul G. Richardson dari Dana-Farber Institute dan Professor R.J. Corman dari Harvard Medical School. Sekarang pasien yang direkrut untuk penelitian baru 560 pasien dan mendekati target penelitian sebanyak 600 pasien.

Hasil sementara pada penelitian pararel tersebut adalah tidak adanya perbedaan yang berarti antara kedua kelompok penelitian dan tentunya dengan efek samping yang dihasilkan lebih rendah pada kelompok yang tidak diberikan transplant. Dan hasil lengkapnya akan dipublikasikan begitu target jumlah pasien bisa tercapai.

Kita berharap, ke depan penelitian obat-obatan  pada pasien myeloma akan membuat multiple myeloma menjadi penyakit kronis yang bisa dikontrol seperti halnya penyakit diabetes atau hipertensi, dan bukan penyakit yang mematikan lagi. Lebih jauh lagi kita juga berharap adanya kesembuhan pada terapi pasien-pasien yang mengidap multiple myeloma tersebut.

Amien ya robbal alamin ...............


Sumber :

Kamis, 12 Mei 2016

Obat Baru Myeloma Disetujui di Eropa

Obat baru untuk pasien myeloma yaitu elotuzumab dengan nama dagang Empliciti akhirnya mendapatkan persetujuan dari Komisi Eropa untuk dipasarkan. Hal ini menyusul persetujuan yang telah diberikan sebelumnya di Amerika Serikat pada akhir November tahun lalu.

Elotuzumab ini digunakan untuk terapi pasien myeloma semua usia yang telah mendapatkan satu sampai tiga regimen terapi sebelumnya. Pada pemberiannya elotuzumab dikombinasikan dengan lenalidomide dan dexamethason.

Sebelum elotuzumab, sebelumnya telah disetujui juga carfilzomib dengan nama dagang Kyprolis dan sama halnya dengan elotuzumab juga diberikan secara kombinasi dengan lenalidomide dan dexamethason. Selain itu, komisi Eropa juga dalam bulan-bulan ke depan akan merekmendasikan Darzalex (Daratumumab) yang sebelumnya telah mendapatkan persetujuan dari Komite Penasehat Eropa. Dan juga pihak Komisi Eropa sedang menilai aplikasi obat baru myeloma yaitu Ninlaro (ixazomib).

Kondisi di Indonesia

Banyaknya obat-obat baru yang sudah dan akan mendapatkan persetujuan untuk dipasarkan oleh negara Eropa dan Amerika tersebut tentunya sangat berkebalikan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia.
Di Indonesia, obat standar myeloma untuk pasien-pasien tua saja yaitu Melpalan yang walaupun sudah tergeistrasi di Indonesia dan mendapatkan persetujuan dari pihak BPOM, kesediannya masih sangat terbatas. Pihak perusahaan obat yang sudah meregistrasikan obat dengan kandungan Melpalan tersebut sepertinya tidak "berminat" untuk menyediakan obat ini di Indonesia dengan berbagai alasan. Padahal Melpalan sudah disetujui oleh pihak Kementrian Kesehatan seperti yang tertuang dalam Formularium Nasional untuk ditanggung pengobatannya oleh pemerintah melalui BPJS.

Obat myeloma lainnya yang merupakan obat standar yaitu Thalidomide bahkan lebih tragis nasibnya. Karena bahkan tidak ada satu perusahaan obat pun yang mau meregistrasikan obat dengan kandungan thalidomide ini. Terpaksa, para dokter ahli kanker merekomendasikan pasien untuk mendapatkan thalidomide dari pihak lain yang tentunya tidak melalu registrasi resmi dari BPOM.

Selain Melpalan dan Thalidomide, obat lainnya yang sudah merupakan obat standar digunakan di Eropa dan Amerika adalah bortezomib, dengan nama dagang Velcade. Sama seperti halnya Melpalan dan Thalidomide, di berbagai rekomendasi, panduan, atau tata-laksana pengobatan myeloma di Eropa, Amerika dan dunia hampir ketiga obat tersebut merupakan obat yang selalu menjadi obat standar terapi multiple myeloma, dan tentunya selain dexamethason, cyclofosfamide dan prednison yang tidak ada kendala kesediaan obatnya di Indonesia.
Obat dengan kandungan bortezomib ini sudah teregistrasi di Indonesia dan sudah disetujui untuk dipasarkan di Indonesia. Tetapi yang menjadi persoalan adalah karena obat ini sudah menjadi obat standar dunia untu terapi myeloma maka alangkah baiknya dari pihak kementrian kesehatan memasukkan obat tersebut ke Formularium Nasiona dan bisa dimanfaatkan lebih luas lagi untuk pasien-pasien myeloma di Indonesia melalui program JKN atau yang sering kita kenal dengan BPJS.


Adanya obat-obat yang sudah menjadi standar diatas untuk bisa diakses dengan mudah oleh pasien-pasien myeloma di Indonesia tentunya menjadi hal penting pertama yang harus diperhatikan oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan pasien-pasien myeloma tersebut baik dari keluarga, pemerintah, kelompok pasien, LSM dan para dokter ahli kanker untuk bisa mewujudkannya.

Dan setelah keberadaan ketiga obat tersebut, baru kita bisa memikirkan berikutnya bagaimana kemajuan-kemajuan pengobatan yang ada di negara Eropa dan Amerika juga bisa dimanfaatkan oleh pasien-pasien di Indonesia seperti akses terhadapt cangkok sumsum tulang dan obat-obat baru myeloam seperti lenalidomide, pomalidomide, carfilzomib, ixazomib, elotuzumab dan daratumumab.